Tuesday, July 23, 2013

ANATOMI PEMIKIRAN MICHEL FOUCAULT : Wacana dan Kekuasaan (Discourse and Power)




1.      Konteks Sosial
Sebagian besar  pemikiran muncul dan berkembang dilatari oleh kondisi sosiokultural tempat sang pemikir atau filsuf itu hidup. Bisa dikatakan para pemikir adalah hasil karya zamannya,  hasil karya mereka yang berupa pemikiran, gagasan dan ide-ide tersebut mampu menembus ruang dan waktu. Pemikir dan pemikirannya adalah bagian dari kesatuan organik (gestalt) atau dalam sejarah diartikan sebagai jiwa zaman, ketika akan memahami pemikiran pemikiran Michel Foucault, berarti juga harus memahami jiwa zaman-nya, sebagai salah satu unsur pembentuk corak dan kekhasan pemikiran-pemikiran Michel Foucault.

Michel Foucault adalah salah satu pemikir yang sangat luar biasa. Pemikirannya tidak mengenal batas ilmu. Hasil pemikirannya meliputi ilmu sejarah, filsafat, ilmu sosial dan politik, sampai ranah medis yang digeluti oleh keluarganya. Foucault sering dijuluki sebagai post-modernis, post-strukturalis, bahkan sebutan filosof, karena hasil-hasil pemikirannya menentang pemikiran-pemikiran modernis yang sudah mapan pada saat itu, namun ia menolak semua julukan yang diberikan kepadanya. Kelebihan lain dari  pemikiran Foucault terletak pada ketertarikannya pada isu-isu kemanusiaan, marginalitas, ketidaknormalan, dan pandangannya tentang kebenaran.
Meski demikian, konteks sosial dan politik yang krusial bagi karir Foucault adalah Perancis. Sebagaimana anak-anak kecil Perancis lainnya di tahun 40-an masa kecil Foucault adalah masa kecil yang penuh kenangan ketakutan akan datangnya musuh yang akan menghancurkan kota mereka. Masa kecil Foucault adalah masa saat Jerman melakukan pendudukan di Perancis. Di Pointier – dari waktu ke waktu pesawat terbang Jerman melayang rendah terbang keliling kota mencari target sasaran stasiun-stasiun kereta api. Pointier sendiri adalah sebuah kota yang selalu dalam pengawasan serta control resmi dari pasukan Jerman. Secara periodik serdadu-serdadu Jerman berpatroli di Pointier untuk menangkapi orang-orang Yahudi dan mengirimnya ke barak-barak konsentrasi untuk disiksa. Dia adalah bagian dari gerakan sosial yang sedikit banyak terlibat dalam Peristiwa 1968 yang terkenal itu. Secara umum periode ini ditandai dengan semangat anti-kemapanan yang luas tidak hanya di Perancis dan Eropa umumnya tetapi juga di belahan dunia lainnya.[1]
Hidup di era modern tidak serta merta membuat Foucault terbawa arus/mainstream di jaman tersebut, justeru dia keluar sebagai pengkritik yang tajam terhadap hal hal yang di anggap wajar pada saat itu bahkan saat ini. Foucault melihat ada problematika dalam bentuk modern pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial, dan subyektivitas. Semua itu, menurutnya terkesan given and natural, tetapi dalam faktanya semua itu adalah “serombongan konstruk sosiokultural tentang kekuasaan dan dominasi”. Selanjutnya, menurut argumentasinya bahwa hubungan antara bentuk kekuasaan modern dan pengetahuan modern telah menciptakan bentuk dominasi baru. Bagi Foucault, selain eksploitasi dan dominasi, ada satu bentuk yang diakibatkan oleh suatu diskursus, yakni subjection (bentuk penyerahan seseorang pada orang lain sebagai individu, seperti pasien pada psikiater).[2]

2.      Pemikiran yang Mempengaruhi Michel Foucault
Salah satu tokoh yang ikut andil dalam mepengaruhi pemikiran foucault adalah Nietzsche. Namun sebelum membahas mengenai pengaruh pemikiran nietzsche terhadap foucault, akan lebih baik jika mengulas sedikit mengenai sosok Nietzsche.
Nietzsche lahir di rocken, 15 oktober 1844. Dimana hari kelahirannya sama dengan hari kelahiran raja Friedrich Wilhem, raja Prusia saat itu. Jika diperhatikan latar belakang keluarganya, akan terasa sangat mengherankan filsuf ini memiliki pemikiran yang kontroversial , radikal, frontal dan ateistik (hampir sama dengan latar kehidupan Karl Max). Kakek Nietzsche adalah seorang pejabat tinggi dalam gereja luteran, dimana jabatannya bisa disejajarkan dengan uskup dalam gereja katolik. Sedangkan ayahnya adalah seorang pendeta di desa rocken, dan ibunya juga lutheran yang berasal dari keluarga geraja.
Kehidupan Nietzsche penuh dengan kepedihan, dimulai dari meninggalnya sang ayah saat Nietzsche berusia 4 tahun. Pada usia 14 tahun  pindah sekolah ke Pforta. Di sekolah ini dia mulai mengagumi karya karya klasik yunani, selama menempuh pendidikan, pemikiran Nietzsche terus berkembang, hingga dia memperoleh kesempatan menjadi dosen di Basel, atas promosi dari gurunya karena kejeniusan Nietzsche.
Kehidupan Nietzsche yang sakit-sakitan membuat di berhenti mengajar, namun dalam kesendirian dan kesepian  Nietzsche tidak berhenti menghasilkan karya karya fenomenal  seperti “tentang asal usul moral, suatu polemik”  dan masih banyak lagi, sedangkan ada beberapa buku pada tahun 1888 yang belum sempat diterbitkan diantaranya “pudarnya para dewa” , “lihatlah manusia”, “antikristus”, ecce homo”. [3]
Tahun 1889 Nietzsche adalah tahun terburuk baginya karena, Nietzsche ditimpa sakit jiwa. Berbagai usaha dilakukan sahabatnya Franz Overbeck untuk menyembuhkan penyakit jiwa Nietzsche tidak berhasil, kemudian Nietzsche dipindah ke  Naumburg dan dirawat oleh ibunya. 3 tahun kemudia saudarinya datang dari paraguy, karena suaminya, Foster, bunuh diri pada tahun 1889. Pada tanggal 20 april 1897 ibunya meninggal, kemudian Nietzsche di pindah ke Weimar dan meninggal disana pada tanggal 25 agustus 1990. [4]
Pemikiran Nietzsche yang mempengaruhi foucault adalah hipotesis tentang kehendak untuk berkuasa, pejelasan mengenai hipotesisnya terdapat pada karyanya yang berjudul “ the will to power : attempt at a revaluation of all value” dalam karyanya dibahas mengenai nilai-nilai yang diajukan oleh agama, moral, dan filsafat. Kritik dalam karyanya tersebut berakhir dengan apa yang disebut nihilisme. Secara sederhana  dapat diartikan nihilisme sebagai runtuhnya nilai-nilai tertinggi dan kegagalan manusia dalam menjawab persoalan “ untuk apa ?” dengan runtuhnya nilai nilai tersebut manusia mulai dihadapkan  pada persoalan bahwa segalanya menjadi tidak bermakna dan tak ternilai. Nietzsche juga mengajukan prinsip-prinsip untuk mengevaluasi seluruh nilai supaya dapat melihat “ nilai baru”. [5] Di sini nietzsche menggunakan pendekatan yang disebutnya genealogi dalam melihat “nilai baru” tersebut
Foucault memang seorang penganut Nietzschean. Hal itu diakuinya terus terang dalam wawancara dengan Gilles Barbadette and Andre Scala. Di masa studinya di tahun enam puluhan, ketika orang ramai-ramai meminati Marxisme, Hegelianisme, dan Fenomenologi, Foucault menimba inspirasi untuk studinya justru dari buku-buku Nietzsche. Seperti yang ketahui, Nietzsche menggunakan pendekatan yang disebutnya genealogi, terutama hal itu diterapkan pada penelusuran asal-usul moral. Metode genealogi adalah metode yang menolak cara tafsir historigrafi yang seolah-olah mampu melihat rentetan kejadian-kejadian secara objektif belaka. Maka kalau sejarah mau merunut asal-usul dari sesuatu hal secara objektif begitu saja, genealogi mau merunut juga motivasi-motivasi di balik munculnya hal-hal itu. Genealogi juga berbeda dari pendekatan hermeneutik agama, maupun fenomenologi yang beranggapan seolah-olah sesuatu hal dapat dirunut hingga pada asal-usul terakhir, kebenaran yang mutlak. Boleh dikata, genealogi merupakan cara pendekatan hermeneutik yang penuh kecurigaan. [6]
Melalui penelusuran genealogi moral Nietzsche sampai pada kesimpulan, bahwa moral bukanlah sesuatu yang diberikan oleh Allah, sebagai yang suci dan sempurna, bersifat tetap, abadi dan orang-orang tinggal menaati saja. Moral adalah bentukan manusia. Pemahaman genealogi moral pada Nietzsche dengan demikian dapat dikaitkan dengan segera pada posisinya sebagai ateis. Budaya Kristen Barat beranggapan telah mewarisi turun-temurun ajaran moral sebagai perintah suci dari Allah. Genealogi adalah cara tafsir yang berhati-hati, menolak pengelabuan metafisis maupun mitis yang beranggapan adanya hal-hal yang suci atau yang tetap, asasi sebagai awal dari sesuatu hal. Genealogi mau memasukkan dimensi historis dari asal-usul dan tidak mau berhenti pada kepercayaan mitis dan metafisis, sebagaimana dipegang para penganut agama dan filsuf. [7]
Pemikiran Foucault memang dipengaruhi Nietzsche, namun dia tidak sepenuhnya sebagai pengikut Nietzsche, sebab baginya, Nietzsche yang diikutinya adalah seseorang yang orisinal, begitu pun dengan dia yang harus orisinal dengan pandangan pribadinya. Foucault dikemudian hari mengembangkan metode genealogi Nietzsche, dengan melihat kaitan antara makna atau pemahaman sesuatu dengan kekuasaan yang membenarkan.

3.      Latar Belakang kehidupan Michel foucault
Michel Foucault lahir di Poiters, Perancis pada tahun 1926. Ia berasal dari kalangan medis, ayahnya seorang ahli bedah, seperti juga saudara dan kakeknya. Orang tua Foucault mengharap anaknya mengikuti jejak yang sama, tetapi ia “membangkang” dan memilih belajar filsafat, sejarah dan psikologi. Sikap ini mengisyaratkan bahwa sejak lama Foucault memang tidak menyukai sesuatu yang mapan. Ia menempuh masa studinya di Ecole normalle superiure pada 1945 dan mendapat license pada bidang filsafat (1948), psikologi (1950) dan psikopatologi (1952). Pada 25 Juni 1984, ia meninggal dunia di Paris, dari beberapa sumber dikatakan bahwa Foucault meninggal akibat HIV AIDS.[8]
Foucault cukup aktif dalam dunia akademis. Pada tahun 1954 hingga 1961, secara produktif ia menghasilkan karya-karya seperti Maladie et Personnalite (Penyakit Jiwa dan Kepribadian), Folie et deraison. Histoire de la folie a lage classique (Kegilaan dan “Unreason”, Sejarah Kegilaan dalam Zaman Klasik), menjadi dosen di Universitas Uppsala (Swedia) di bidang sastra dan kebudayaan, mengerjakan buku yang akan menjadi disertasinya, serta menjadi direktur Pusat Kebudayaan Prancis di Warsawa (Polandia) dan di salah satu lembaga sejenis di Hamburg (Jerman). Pada tahun 1961, di bawah bimbingan G. Canguilhem, ia memperoleh gelar “doktor negara”. Karya-karyanya yang terkenal antara lain, Maladie mentale et psychologie (Penyakit Jiwa dan Psikologi), Histoire de la folie (Sejarah Kegilaan), Raymond Roussel (tentang seorang sastrawan Prancis), dan Naissance de la Clinique. Une archeologie du regard medical (Lahirnya Klinik. Sebuah Arkeologi tentang Tatapan Medis) dan buku ini membuat nama Foucault menjadi masyur adalah Les mots et les choses. Une archeologie des sciences humaines (1966) (Kata-kata dan Benda-benda. Sebuah Arkeologi tentang Ilmu-ilmu Manusia), buku filsafat yang mengalami kesuksesan terbesar di Prancis setelah Ada dan Ketiadaan (1943), karangan J.P Sartre. Terutama sejak buku ini, Foucault dianggap filsuf terpenting dalam aliran strukturalisme. Tahun 1969, ia juga menghasilkan Larcheologie du savoir (Arkeologi Pengetahuan). [9]
Tahun 1960-an, Foucault mengajar di universitas-universitas di Montpellier, Tunis (Afrika Utara), Clermond-Ferrand, Paris-Nanterre. Ia juga menjadi salah seorang pendiri Univeritas Paris-Vincennes (yang kemudian disebut Universitas Paris VII), universitas eksperimental yang didirikan dalan rangka pembaruan pendidikan universitas sesudah kericuhan 1968. Ia tidak lama mengajar di sana karena bulan Mei 1969, ia dipilih sebagai profesor di College de France. Pidato pelantikannya saat itu kemudian diterbitkan sebagai buku kecil Lordre du discours (1970) (Susunan Diskursus). Pada tahun 1975, ia menerbitkan buku Surveiller et Punir. Naissance de la prison (Menjaga dan Menghukum. Lahirnya Penjara). Ia mempelajari asal usul historis dari lembaga pemasyarakatan dan sistem hukuman. Buku ini merupakan pengungkapan teoretis dari suatu keprihatinan yang melibatkan Foucault juga secara praktis, sebab beberapa tahun lamanya ia aktif dalam suatu kelompok yang memperjuangkan sistem kepenjaraan di Prancis. Dalam kerjasama dengan beberapa orang lain, Foucault juga menerbitkan sejumlah kumpulan dokumen-dokumen historis tentang salah satu kasus yang berkaitan dengan pokok pembicaraan buku-bukunya. [10]

4.      Tema atau Pertanyaan
Pemikiran Foucault tentang kekuasaan mau memeriksa salah satu segi proses peradaban Barat, yaitu agresi rasio dengan kepastian-kepastian filsafat "Pencerahan". Agresi rasio dengan kepastian-kepastian yang dibawa oleh filsafat Pencerahan ini' mendapat kritik tajam dari Foucault, yakni terhadap filsafat sejarah yang terlalu percaya pada sistem dan terhadap metode pembahasannya.
Di balik kekacauan kejadian-kejadian sejarah, terungkap peran para filsufsejarah yang terlalu beorientasi pada sistem. Persoalan sejarah bukan untuk menjadikan koheren apa yang tidak koberen. Sejarah bukan untuk mempertahankan rasionalitas yang bertentangan dengan reahtas konflik kekuasaan dan ideologi. Kritik ini jelas diarahkan pada konsepsi Hegel tentang sejarah sebagai dialektika. Kehebatan dialektika terletak dalam kemampuannya mengubah dari kekurangan menjadi kekuatan, yang jahat menjadi sarana kebaikan, perbedaan pendapat menjadi momen di mana kesadaran menjadi lebih jelas. Menurut Foucault, sintesis yang dianggap sebagai jalan keluar dialektika itu tidak lain hanyalah imajinasi pemecahan antisipatif terhadap kontradiksi-kontradiksi atau konflik-konflik. Kebenaran semacam itu diberlakukan sebagai jalan keluar bagi perbedaan kepentingan dan hubungan-hubungan pertarungan kekuatan. Bukankah kontradiksi atau konflik tidak selalu harus ada jalan keluarnya?[11]
Tujuan utama Foucault adalah mempertanyakan cara masyarakat modern mengontrol dan mendisiplinkan anggota-anggotanya dengan mendukung klaim dan praktik pengetahuan ilmu manusia: kedokteran, psikiatri, psikologi, kriminologi dan sosiologi. Ilmu manusia telah menetapkan norma-norma tertentu dan noram tersebut direproduksi serta dilegitimasi secara terus-menerus melalui praktik para guru, pekerja sosial, dokter, hakim, polisi dan petugas administrasi. Ilmu manusia menempatkan manusia menjadi subyek studi dan subyek negara. Terjadi ekspansi sistem administrasi dan kontrol sosial yang dirasionalkan secara terus-menerus.

5.      Proposisi yang ditawarkan
Tulisan ini pada dasarnya berusaha menyajikan sedikit pemikiran Foucault, khususnya mengenai konsep relasi kekuasaan. Sehingga hanya sebagian kecil pemikiran Foucault saja yang dapat dipaparkan oleh penulis.

5.1. Konsep Kekuasaan
Kekuasaan yang menjadi dasar realitas sosial dalam pandangan Foucault bersifat produktif dan tidak kelihatan karena ia ada di mana-mana, menyebar dan menyusup dalam setiap aspek kehidupan, serta terserap dalam ilmu pengetahuan dan praktik sosial yang untuk selanjutnya menciptakan rezim kebenaran.
Pemikiran Foucault yang utama adalah penggunaan analisis diskursus untuk memahami kekuasaan yang tersembunyi di balik pengetahuan. Analisisnya terhadap kekuasaan dan pengetahuan memberikan pemahaman bahwa peran pengetahuan pembangunan telah mampu melanggengkan dominasi terhadap kaum marjinal. Ia mencontohkan bahwa pembangunan di negara Dunia Ketiga merupakan tempat berbagai kekuasaan dunia sekaligus adanya hubungan penting tentang berperanannya kekuasaan di negara-negara tersebut. Dalam karyanya tentang A Critique of Our Historical Era , Foucault melihat ada problematika dalam bentuk modern pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial, dan subyektivitas. Semua itu, menurutnya terkesan given and natural, tetapi dalam faktanya semua itu adalah “serombongan konstruk sosiokultural tentang kekuasaan dan dominasi”. Selanjutnya, menurut argumentasinya bahwa hubungan antara bentuk kekuasaan modern dan pengetahuan modern telah menciptakan bentuk dominasi baru. Bagi Foucault, selain eksploitasi dan dominasi, ada satu bentuk yang diakibatkan oleh suatu diskursus, yakni subjection (bentuk penyerahan seseorang pada orang lain sebagai individu, seperti pasien pada psikiater). Oleh karena itu, yang perlu dipelajari adalah upaya untuk membangkitkan kembali local centres dari power knowledge, pola transformasinya, dan upaya untuk masukkan ke dalam strategi dan akhirnya menjadikan pengetahuan mampu mensupport kekuasaan. Menurut pemikirannya, bahwa setiap strategi yang mengabaikan berbagai bentuk power tersebut maka akan terjadi kegagalan. Untuk melipakgandakan power, harus berusaha bertahan dan melawan dengan jalan melipatgandakan resistensi dan kontra-ofensif. Localize-resistence tersebut haruslah bersifat radikal dan tanpa kompromi untuk melawan totalitas kekuasaan (daripada memakai cara revolusi massa), dengan strategi yang ditujukan untuk mengembangkan jaringan kerja perjuangan, kantong-kantong resistensi dan popular base. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah analisis power tertentu (antar individu, kelompok, kegiatan dan lain-lain) dalam rangka mengembangkan knowledge strategies dan membawa skema baru politisi, intelektual, buruh dan kelompok tertindas lainnya, dimana power tersebut akan digugat.[12]
Harus diakui bahwa kekuasaan itu mempesona karena setiap orang tergila-gila dengan kekuasaan dan bahkan berusaha untuk memilikinya. Kekuasaan dalam arti ini lebih mempunyai makna sebagai “milik” artinya kekuasaan hanya disempitkan sebagai milik pemerintah atau institusi tertentu sehingga muncul terminologi adanya perebutan dan peralihan kekuasan dalam kursi pemerintahan. Bagi penulis, Foucault sama sekali tidak memaksudkan makna kekuasaan seperti ini. Gagasan Foucault tentang kekuasaan lebih orisinal dan realistis. Dengan latar belakang sebagai seorang sejarawan, Foucault sama sekali tidak mendefenisikan secara konseptual apa itu kekuasaan tetapi lebih menekankan bagaimana kekuasaan itu dipraktikan, diterima dan dilihat sebagai kebenaran dan berfungsi dalam berbagai bidang kehidupan.[13] Dalam arti inilah, kekuasaan tidak hanya disempitkan dalam ruang lingkup tertentu atau menjadi milik orang atau intitusi tertentu seperti pandangan umum bahwa kekuasan itu selalu dikaitkan dengan negara atau institusi pemerintah tertentu. Atau dalam konteks Indonesia, kekuasaan tidak hanya menjadi milik Presiden Bambang Yudhoyono, DPR-MPR, Gubernur dan sebagainya tetapi kekuasaan menyangkut relasi antara subyek dan peran dari lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi tertentu dalam masyarakat. Sumbangan kekuatan dari setiap subyek dan lembaga-lembaga yang menjalankan peran sebaik-baiknya, itulah yang menunjukan arti kekuasaan.[14]
Pemahaman kekuasaan diatas, jelas bertolak belakang dengan pemahaman Karl Marx yang melihat kekuasaan hanya menjadi milik masyakat kelas atas. Dominasi dan monopili kaum borjuis menentukan kehidupan seluruh masyarakat. Atau juga bertentangan dengan gagasan Thomas Hobbes yang mengartikan kekuasaan  hanya menjadi milik lembaga yang disebut negara dan negara memiliki kuasa mutlak untuk menentukan kehidupan masyarakat.[15] Berdasarkan kedua gagasan ini, penulis mengamini apa yang dikatakan Foucault dimana kekuasaan tidak hanya menjadi milik pemimpin atau entitas yang berpengaruh dalam masyarakat tetapi kekuasaan berangkat dari kekuatan dan sumbangan pemikiran setiap subyek
5.2.Mekanisme dan Strategi Kekuasaan
            Konsekuensi dari paham kekuasaan Marxian yakni tidak adanya relasi kekuasaan antara subyek, yang ada hanya monopoli kaum kelas atas dan perampasan segala hak milik kaum kecil. Dan akibat dari paham kekuasaan Thomas Hobbes ialah adanya tindakan represif yang tiada hentinya, kekerasaan, otoriter dan sebagainya. Kondisi seperti ini yang menodai makna kekuasaan itu sendiri. Bagi penulis, mungkin berangkat dari keprihatinan seperti ini, Foucault akhirnya menrefleksikan dan mengkritisi makna kekuasaan. Bagi Foucault kekuasaan lebih menunjuk pada mekanisme dan strategi dalam mengatur hidup bersama.[12] Dalam arti ini kekuasan mengasalkan diri dari berbagai sumber dan memiliki keterkaitan satu terhadap yang lain. Adanya pengakuan struktur-struktur yang menjalankan fungsi tertentu dan dalam struktur itulah kekuasaan mengasalkan dirinya. Dari gagasan kekuasaan sebagai suatu strategi dan mekanisme; penulis memaparkan beberapa metedologis kekuasaan yang menjadi fokus perhatian Foucault.
Pertama; peran hukum dan aturan-aturan. Foucault mengatakan “kuasa tidak selalu bekerja melalui represif dan intimidasi melainkan pertama-tapa bekerja melalui aturan-aturan dan normalisasi”.[13] Segala aturan dan hukum pertama tidak dilihat sebagai hasil dari ketentuan pemimpin atau institusi tertentu tetapi sebagai sintesis dari kekuasaan setiap orang yang lahir karena perjanjian. Segala aturan yang lahir karena konsensus bersama memiliki kekuatan yang lebih dalam hidup bersama. Kedua, tujuan kekuasaaan. Tujuan dari adanya mekanisme kekuasaan ialah membentuk setiap individu untuk memiliki dedikasi dan disiplin diri agar menjadi pribadi yang produktif.[14] Setiap orang diberi ruang untuk berpikir, berkembang dan dengan bebas menyampaikan aspirasinya demi kemajuan bersama.
Ketiga, Kekuaaan itu tidak dilokalisasi tetapi terdapat di mana-mana. Kesadaran akan kekuatan dari suatu negara dan masyarakat tidak dibatasi hanya dari para pemimpin tetapi atas kerjasama setiap pribadi dan lembaga yang memiliki orientasi produktif. Misalnya, dengan adanya ruang komunikasi antara pemimpin dan warganya, kesatuan tercipta dalam suasana dialogis dan mengarah kepada cita-cita bersama. Keempat, kekuasaan yang mengarah ke atas.[15] Dalam arti ini, kekuasaan setiap orang dan lembaga dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga membentuk konsensus bersama. Atau dengan kata lain hasil dari proses komunikasi kekuasaan bersama akan menghasilkan kekuasaan bersama atau dalam bahasa, Thomas Kuhn, adanya paradigma bersama.[16] Kelima, kombinasi antara kekuasaan dan Ideologi. Setiap anggota dalam masyarakat kurang lebih memiliki impian yang sama yaitu adanya pengakuan hal setiap orang yang terarah pada kesejahteraan bersama. Harapan ini harus berjalan bersama dengan kekuasaan bersama. Segala hukum dan aturan diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Dari kelima point di atas, kita melihat dengan jelas adanya perbedaan menyolok antara gagasan Foucault dengan para pemikir abad modern. Misalya, Machiavelli yang melihat kesejahteraan bersama tidak ditentukan oleh konsensus bersama tetapi oleh penguasa. Machievelli mengatakan “Orientasi kekuasaan tertuju kepada apa yang dinamakan penguasa artinya merujuk pada pemimpin negara. Dimana dikatakan bahwa seorang penguasa harus bisa membentuk opini umum dalam mengendalikan tingkah laku warganya.[17] Dalam arti ini, penguasa memiliki kuasa mutlak untuk mengatur negara. Tidak ada aturan dan hukun yang muncul sebagai akibat perjanjian setiap  subyek. Dengan membandingkan kedua gagasan ini, kita dapat melihat bahwa arti kekuasaan dan jiwa yang menggerakan hidup bersama memiliki titik tolak yang berbeda. Bagi penulis, Foucault menjunjung tinggi pada proses kreatif dan kritis setiap orang dalam membangun ideologi bersama.







Gagasan mengenai kekuasaan dalam karya foucault adalah jawaban atas persoalan bagaimana dan mengapa formasi formasi diskursif  berubah. Pandangan mengenai otonomi kebudayaan dalam kaitannya dengan koheresi internal dalam formasi formasi diskursif akhirnya tergusur  seiring dengan bergesernya penekanan menuju “relasi kekuasaan” sebagai sendi terpenting. Hal tersebut lantas menjadikan  pengetahuan sebagai situs bagi strategi , pergulatan dan konflik demi kekuasaan. Gagasan foucault tentang “kekuasaan disipliner” dengan demikian harus dibaca sebagai upaya pembacaan teoritis-kekuasaan. Pada periode karya ini tampaknya dekat dengan pemikiran Weber. [16]
Menurut foucault, “ posisi liminal” penderita kegilaan di abad pertengahan  terlihat dari disingkirkannya mereka secara sosial ke dalam rumah sakit jiwa. Embarkasi penderita kegilaan tersebut berarti tersisihkan ia dari kota, terdesak kewilayah perbatasan, atau lebih tepatnya, dari rasio menuju kegilaan. Pada konteks zaman Renaisance memainkan peran penting dalam menyiapkan dasar bagi pengalaman kegilaan zaman klasik dengan cara berangsur angsur menggabungkan kegilaan kedalam rasio  dengan tujuan untuk mengontrolnya. Dalam Birt of the clinic  foucault menjalankan suatu “ arkeologi tatapan medis”. Masalah yang membangkitkan minatnya disini adalah  pergeseran konsep ilmu kedokteran, dari yang fokus pada kesehatan dan masih menyediakan ruang bagi pasien  untuk menjadi dokter bagi dirinya sendiri  pada abad-18, menuju konsepsi ilmu kedokteran yang berokur pada normalitas dimana tubuh pasien menjadi subjek tatapan yang berdaulat dari sang dokter dalam tatanan klinis rumah sakit modern. [17]
Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai yang melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat untuk mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasaan harus mengambil bentuk pengetahuan, karena ilmu-ilmu terumus dalam bentuk pernyataanpemyataan.  Kekuasaan-pengetahuan terkonsentrasi di dalam kebenaran pernyataan-pernyataan ilmiah. Oleh karena itu semua masyarakat berusaha menyalurkannya, mengontrol dan mengatur wacana mereka agar sesuai dengan tuntutan ilmiah. Wacana macam ini dianggap mempunyai otoritas. Pengetahuan tidak bersumber pada sumbjek, tetapi dalam hubungan hubungan kekuasaan. “ kekuasaan menghasilkan pengetahuan... kekuasaan dan pengetahuan salin terkait... tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan dan tidak pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk hubungan kekuasaan”.

6.      Jenis Realitas Sosial (tidak terlihat)
Foucault beranggapan bahwa setiap hubungan social selalu merupakan hubungan kekuasaan (hegemoni Kekuasaan). Kekuasaan ada  dalam setiap hubungan sosial. Dengan kata lain, Power being the ultimate principle of social reality (Basrowi, 2004: 73). Kekuasaan yang menjadi dasar realitas sosial dalam pandangan Foucault bersifat produktif dan tidak kelihatan karena ia ada di mana-mana, menyebar dan menyusup dalam setiap aspek kehidupan, serta terserap dalam ilmu pengetahuan dan praktik sosial yang untuk selanjutnya menciptakan rezim kebenaran. Dengan sifat yang demikian itu, keberlangsungan kekuasaan itu seolah-olah menjadi tidak disadari lagi oleh seseorang. seseorang rela melaksanakan apa yang dikehendaki oleh kekuasaan tanpa orang itu sendiri menyadari bahkan orang itu sedang dikuasai.[18]
Jenis kekuasaan seperti ini disebut sebagai kekuasaan kedisiplinan atau disciplinary power. Ia membawa efek kepatuhan kepada guru untuk patuh berada dalam wacananya disiplin. Dengan kata lain, suatu cara menegakkan kekuasaan yang bekerja melalui normalisasi. Ia merupakan suatu teknologi untuk menormalisasi kehidupan masyarakat. Jadi, ide tentang kenormalan tidak lain merupakan konstruksi sosial yang dibangun melalui wacana dominan. Wacana ini kemudian melahirkan praktik-praktik seperti mendifinisikan, mengkategorikan, dan mengukur kenormalan itu sendiri. Semua itu kemudian menjadi rutin dan diterima begitu saja sebagai sebagai suatu keharusan yang hendak dilakukan.[19]

7.      Lingkup Realitas Sosial (makro dan Mikro)
Kekuasaan yang menjadi dasar realitas sosial dalam pandangan Foucault bersifat produktif dan tidak kelihatan karena ia ada di mana-mana, menyebar dan menyusup dalam setiap aspek kehidupan, serta terserap dalam ilmu pengetahuan dan praktik sosial yang untuk selanjutnya menciptakan rezim kebenaran. Dengan sifat yang demikian itu, keberlangsungan kekuasaan itu seolah-olah menjadi tidak disadari lagi oleh seseorang.
Berkaitan dengan wacana, Foucault lebih tertarik melihat realitas tersebut sebagai praktik sistematik yang dapat di-bentuk dan dikendalikan oleh orang -orang tertentu. Acuan dan makna sebuah wacana dalam kehidupan bermasyarakat sangat berpotensi dibentuk oleh si manusia kehendak yang relatif memiliki keleluasaan untuk melakukannya. Dalam berbagai aspek kehidupan manusia, wacana secara umum tidak pernah netral dan lahir berdasarkan asumsi alamiah. Wacana pada dasarnya sengaja dibentuk dan dikondisi-kan oleh institusi-institusi yang lebih dominan atas aspek-aspek yang didominasinya. Menurut Foucault, discourse is political commodity, a phenomenon of exclusion, limitation, prohibition (Gordon, 1980:245).

8.      Aktor (tidak otonom)
Foucault pada akhirnya sampai pada penyingkapan karakteristik dunia modern yang menjungkir balikkan asumsi-asumsi filosof pencerahan. Dalam pandangan filosof pencerahan, manusia dipandang sebagai subjek otonom, mandiri dan mampu menentukan diri sendiri. Mereka juga percaya adanya pemilihan yang tegas antara pengetahuan sejati dan murni (rasional, objektif dan tidak terdistorsi oleh mitos atau hubungan kekuasaan yang menindas) dengan pengetahuan palsu dan tidak murni (irasional, subjektif dan ideologis/cerminan dari kekuasaan tertentu).
Pandangan demikian ditolak keras oleh Foucault. Dalam disiplin dan hukuman, Foucault secara genial melukiskan bagaimana individu modern sebagai subjek maupun objek, sebenarnya lahir dan diciptakan oleh multiplisitas dalam jaringan kuasa. Lewat teknik disiplin dan normalisasi, individu diciptakan sebagai objek. Foucault juga menegaskan bahwa distingsi antara pengetahuan murni (yang bebas kekuasaan) dan pengetahuan ideologi (yang bias kekuasaan) hanyalah ilusi belaka. Sebab menurut Foucault, pengetahuan dan kekuasaan terpilih dalam kesatuan tunggal.[20]
Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah seperti apa yang dikatakan kaum Weberian, yakni kemampuan subjektif untuk mempengaruhi oranglain. Kekuasaan bukan pula seperti apa yang dikatakan kaum Marxis sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan oleh kelas tertentu untuk mendominasi dan menindas kelas lain. Kekuasaan bukan institusi, struktur atau kekuatan menundukkan. Kekuasaan adalah label nominal bagi relasi strategi yang kompleks dalam masyarakat. Dalam relasi, tentu saja ada yang di atas ada yang di bawah, ada yang di pusat ada yang pinggir, ada yang di dalam ada yang di luar. Tapi bukan berarti kekuasaan semata-mata terletak di atas, di pusat, atau di pinggir, sebaliknya, kekuasaan menyebar, terpencar, dan hadir dimana-mana ibarat jaring yang menjerat kita semua. Kekuasaan berada di semua lapisan, kecil dan besar, laki dan perempuan, yang shaleh dan laknat.

9.      Metode yang Ditawarkan
Analisis wacana secara epistimologi menjadi bagian dari kekayaan khasanah metodologi kualitatif yang berperspektif posmodernisme. Ia beroperasi dengan sejumlah asumsi yang amat berbeda, untuk banyak hal bertentangan, dengan metode konvensional kuantitatif. Apabila metode kualitatif (yang asumsi-asumsi dasarnya tentang realitas amat ditentukan oleh paradigma positivisme itu) amat percaya pada kebenaran universal, metode kualitatif generasi akhir ini menjungkirbalikkan hampir seluruh kepercayaan dasar yang secara kukuh dipertahankan oleh paradigma positivisme. Beberapa perbedaan pokok di antara dua metode ini terletak di antaranya pada bagaimana mereka melihat individu dalam konteks sosial.
Bagi metode positive-kuantiantif, individu adalah representasi dari beroperasinya struktur sosial yang eksistensinya berada diluar kesadaran individu. Perilaku individu dalam konteks sosial, dalam pandangan paradigma ini, sepenuhnya dilihat sebagai hasil determinasi struktur atas individu. Individu dilihat sebagai aktor yang berperilaku, bahkan berperasaan, menurut script (naskah) yang terdapat dalam struktur. Apa yang dibayangkan sebagai struktur itu (yang didalamnya di antaranya berupa nilai, kepercayaan, ideologi, norma dan institusi) menjadi penentu tentang bagaimana individu merespon sebuah peristiwa sosial. Bisa dipahami apabila semangat utama dari penelitian yang berparadigma ini adalah memetakan pola-pola dan kecenderungan-kecenderungan umum tentang bagaimana struktur sosial yang berbeda itu menghasilkan disposisi dan perilaku individu, atau kelompok yang berbeda, ujung dari pengelanaan intelektual manusia semacam ini adalah ditemukannya dalil-dalil umum yang dihasilkan melalui upaya generalisasi atau fakta-fakta empiris yang dihasilkan melalui berbagai pengamatan yang terukur secara cermat dan yang terbandingkan dari satu tempat ketempat yang lain, dari satu waktu ke waktu lain.
Sementara itu, metode kualitatif berperspektif postmodernisme ini melihat realitas sosial dalam wajah-ganda (multifaces, multidimensional, multilayer, dan multitruth). Kebenaran tidak pernah tunggal dan selalu dipengaruhi oleh konteks yang didalamnya melibatkan proses evaluasi-reevaluasi, posisi-reposisi, dan negoisasi-renegoisasi. Individu tidak pernah dilihat sebagai agen yang secara aktif melakukan interpretasi atas struktur dan secara kreatif melakukan negoisasi terhadap makna yang dibangunnya menurut harapan-harapan dan pengalaman-pengalaman subjektifnya sebagai individu.
Dalam konteks sosial, individu selalu dilihat sebagai pribadi yang unik dan spesifik. Unik karena ia memiliki pengalaman-pengalaman yang khas, spesifik karena ia memiliki harapan-harapannya sendiri. dalam perspektif semacam ini, para penganut metode ini tidak pernah berhasrat untuk menemukan kedalaman (depth), kekayaan (richness), dan kompleksitas (complexity) dari sebuah realitas yang dilihatnya sebagai hasil konstruksi sosial melalui individu-individu yang secara aktif melakukan interpretasi subjektif dan intersubjektif atas struktur.
Untuk melakukan sebuah analisis wacana, karena itu, penguasaan teori dan konsep menjadi satu hal sentral. Teori-teori dan konsep-konsep tentang bagaimana sebuah realitas sosial itu bermakna secara sosial dalam sebuah nexus interaksi sosial dan kekuasaan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari metode ini. Metode tidak lagi diperlukan semata-mata sebagai prosedur dan teknik, strategi, melainkan juga dan terutaman sebagai hasil. Sebagai penutup, teks yang dipelajari dalam analisis wacana selalu dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari usaha memahami indivdu (sebagai prosedur teks) yang tengah membangun makna dan menghadirkan realitas menurut konstruksi sosial dari mana ia menjadi bagian dan terlibat dalam prose itu. Teks, karena itu, selalu diperlakukan juga sebagai sebuah konteks yang merepresentasikan kompetisi makna yang amat majemuk dan yang selalu berimplikasi kepada hubungan yang berdimensi kekuasaan di antara prosedur teks dan audience yang untuk ketika yang lain juga menjadi prosedur teks.
Semua pengetahuan adalah politik  karena syarat syarat kemungkinannya besumber pada relasi kekuasaan. Anatomi politik menunjukan bahwa teknik kekuasaa, produksi, dan pengetahuan lahir dari sumber yang sama. Memang anatomi politik tidak menciptakan pengetahuan, tetapi genealogi. Dengan metode genealogi ditunjukkan bahwa kebenaran yang mengambil bentuk objektivitas ilmu hanya ilusi. Setiap pengetahuan  terkait dengan objek kekuasaan : orang gila, kriminal, anak remaja, orang sakit, buruh. Kaitanya terletak pada kemampuan pengetahuan mendefinisikan realitas objek tersebut. Dengan mendefinisikan realitas, akibatnya pengetahuan merubah konstelasi sosial.
Dalam karyanya Discourse on Language. Genealogi tersebut muncul untuk melengkapi analisis tentang aspek diskursus yang mirip-sistem dengan suatu analisis bagaimana aspek tersebut dapat terbentuk. Namun genealogi justerru menggantikan peran arkeologi. Tugas genealogi kekuasaan sesungguhnya berfungsi untuk menganalisis silsilah pengetahuan, pembedaan Nietzsche  antara asal-usul dan silsilah adalah pembedaan antara presentasi sejarah sebagai terbentangnya  suatu gagasan secara jelas serta sebagai fenomena yang murni kebetulan. Disamping itu gagasan Nietzschean tentang kemunculan untuk menunjukkan bahwa mode-mode pengetahuan memiliki erat dengan meluapnya berbagai kekuatan. Dengan demikian Foucault sampai pada gagasan tentang pasangan kekuasaan-pengetahuan : suatu pasangan yang secara dramatis menggambarkan terikatnya diskursus secara erat pada relasi antara  kekuatan dan kekuasaan, maupun mengekspresikan kapasitas produktif  kekuasaan untuk menciptakan diskursus. [21]
Sedangkan dengan metode arkeologis  Foucault menemukan bahwa semua wacana mempunyai pretensi objektivitas ilmu yaitu wacana sesorang yang mempunyai kekuasaan. Cara psikiatri memdefinisikan adanya penyakit jiwa membawa pemisahan antara orang gila dan orang normal. Definisi yang diberikan dokter tentang penyakit membawa pemisahan yang dilembagakan  dalam bentuk perbedaan orang sehat dengan orang sakit, lalu diciptakan rumah sakit. Kriminolog merubah konstelasi masyarakat dengan memisahkan antara orang baik-baik dengan penjahat, yang dicurigai dan tidak terlibat. Diciptakannya penjara berakibat kekuasaan yang dijalankan polisi semakin besar. [22]
Kekuasaan bagi Foucault tidak tercipta dalam bentuk tunggal. Kekuasaan hadir dimana-mana, ada didalam semua relasi sosial dan dilaksanakan pada titik titik yang tidak terkira banyaknya dalam bentuk bentuk yang heterogen. [23]
Kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Salah satu bidang normalisasi adalah tubuh. Senam dan latihanlatihan militer, kelincahan, dan keluwesan yang menyangkut tingkah laku serta gerak gerik, mengikuti norma tentang keadaan tubuh (langsing, gemuk, kurus dll), cara berpakaian dan kesehatan: dalam semuanya itu berlangsung normalisasi dan dengan itu juga strategi kuasa. Contoh lain yang lebih jelas tentang strategi kuasa adalah seluruh wilayah yang menyangkut kesehatan badani dan psikis dengan norma-normanya untuk menyatakan seseorang sakit atau sehat. Juga aturan-aturan yang mengiringi cara kita berbicara dengan ketentuan-ketentuan tentang lafalan dan ejaan merupakan contoh normalisasi.
Secara sederhana pemikiran Foucault dapat didiskripsikan sebagai berikut, kekuasaan tidak bertumpu pada satu titik sentral termasuk tidak hanya pada pihak-pihak yang dominan, melainkan tersebar di seluruh masyarakat (tidak ada seorang pun yang memilikinya). Kuasa bukanlah milik raja, presiden, atau pejabat, tetapi dalam bentuk strategi. Kekuasaan tidak bekerja melalui penindasan atau represi, melainkan melalui normalisasi yang positif dan produktif, yaitu melalui wacana. Salah satu subjek penting yang diamati Foucault menyangkut kekuasaan adalah tubuh, karena baginya untuk menunjukkan bagaimana kuasa melakukan normalisasi dan menyebar, maka haruslah melihat dari tubuh manusia. Bahkan bagi Foucault tubuh telah menjadi ”pertarungan wacana” terus menerus.
Di sini penulis mencoba mengambil contoh penyebaran wacana pada masa orde baru. Pada masa Soeharto wacana guna menguasai dan mengontrol pikiran masyarakat hampir dilakukan disegala lini baik itu media massa yang berupa elektronik maupun cetak, juga dalam lingkup pendidikan, ambillah contoh wacana G30S, pada masa Soeharto hampir semua media selalu memutar dan menampilkan kekejaman yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, buku buku paket di sekolah dikarang sedemikian rupa dengan menanamkan kebencian pada PKI, dan buku buku dan media Cetak yang tidak mencantumkan tulisan PKI pada gerakan 30 september langsung di brendel, tentu saja wacana-wacana yang digulirkan oleh ORBA tidak lain adalah mengarahkan masyarakat agar selalau beranggapa bahwa pemeritahan ORBA telah berhasil menjaga keutuhan NKRI dan lain sebagainya. Di sini tengah berlangsung bergulirnya strategi kuasa yang diproduksi terus menerus.
Wacana yang dihembuskan ini secara perlahan-lahan menciptakan kategorisasi, seperti aturan-aturan mengenai perilaku baik atau buruk yang sebenarnya mengendalikan perilaku masyarakat yang pada akhirnya dianggap kebenaran yang telah ditetapkan. Atas hal ini, bukan tubuh fisik lagi yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran dan kehendak individu. Pada akhirnya iklan menormalkan individu agar perilakunya sesuai dengan yang diinginkan si pembuat wacana.

10.  Keberpihakan (Cartesian)
Foucault melakukan kritik terhadap tatanan pengetahuan terutama kritik terhadap positivisme yang mendewakan kemapanan pengetahuan. Ia sangat menjiwai ilmu yang terkait dengan manusia karena bagi Foucault tidak ada sesuatu yang objektif, segala sesuatu itu subjektif, segala sesuatu memiliki ruang cipta baik sadar atau tidak.
Di dalam buku yang ia tulis yaitu order of thing, ia ingin memaparkan arkeologi ilmu-ilmu kemanusiaan bahwa pengetahuan manusia tidak lagi mengambil bentuk dalam masa pencarian kita akan kesamaan dan kemiripan tetapi lebih pada permukaan dan kedalaman yang dibangkitkan kembali pada kesadaran ‘keheningan’ tak bernama yang mendasari dan memungkinkan bentuk-bentuk semua diskursus, bahkan dari ‘ilmu pengetahuan’ itu sendiri.





[1] Syafieh. Pengetahuan Dan Kekuasaan Dalam Perspektif Foucault. 2013. (online) sumber: http://syafieh.blogspot.com/2013/03/pengetahuan-dan-kekuasaan-dalam.html
[2] Slamet Santoso. Pemikiran Michel Foucault (1926 – 1984). (online) sumber: http://ssantoso.blogspot.com /2007/08/ pemikiran-michel-foucault-1926-1984.html
[3] Sunardi. Nietzsche. 2006, halaman 17. LKiS

[4] Ibid. hal 18.

[5] Ibid. hal 22.

[6] Sudiarja. Re: Nietzsche dari Kacamata Foucault. http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp? Id=2004042901343827. (diunduh 15 april 2013)

[7] Ibid. 

[8] Sejarah UNJ. Kritik Foucault Terhadap Positivisme: Pembacaan Arkeologis dan Geneanologis atas Rezim Kuasa. Mei 3, 2010. (online) sumber: http://sejarahunj.wordpress.com/page/4/
[9] Agustin, Sari Monik. Foucault & Komunikasi (Telaah Konstruksi Wacana Dan Kuasa Foucault Dalam Lingkup Ilmu Komunikasi). - : Universitas Al Azhar Indonesia

[10] ibid .

[11] Haryatmoko. Foucault dan Kekuasaan dalam majalah.Basis. No.01-02, Thn ke-51, Januari-Februari 2002. Hal 12. Yogyakarta.
[12] Rizki Wulandari. Foucault. 2012. (online) sumber: http://afidburhanuddin.files.wordpress.com /2012/11/foucault2_ed.pdf. halaman 3-4
[13] Dr. Konrad Kebung, SVD, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), hal. 212.
[14] -.Kekuasaan (Kuasa) Menurut Michel Foucault. 2011. (online) sumber: http://sangkebijaksanaan. blogspot.com/2011/09/kekuasaan-kuasa-menurut-michel-foucault.html
[15] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 2007),  hal. 71.
[16] Beilharz, Peter. Teori-Teori Sosial : observasi kritis terhadap para filosof terkemuka. 2005. Hal 128-129. Yogyakarta.

[17] Beilharz. Teori-Teori Sosial.Op.Cit, Hal 130.

[18] Siskandar. Kesiapan Daerah Dalam Melaksanakan Ujian Nasional. Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 5 Nomor 1, April 2008. Halaman 100-101
[19] Ibid. Halaman 100-101
[20] Dra. Nuryanah, M.Ag. Dekonstruksi Dan Rekonstruksi. 2011. (online) sumber: http://nuryanahsmkn7.blogdetik.com/2011/07/19/.
[21] Ibid. Hal 132.

[22] Haryatmoko. Ibid. Hal 13.

[23] Ritzer & Smart. Handbook Teori Sosial. 2012. Hal 649. bandung.


Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |